Riwayat KH. Muhamad Dimyati
KH
Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah sosok yang
kharismatis. Beliau dikenal sebagai pengamal tarekat Syadziliyah dan melahirkan
banyak santri berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya.
Nama lengkapnya
Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad
Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan dan
tersebar hingga mancanegara. Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal
sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh
kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Abuya Dimyati juga kesohor sebagai
guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu,
Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan
menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya
Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai.
Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya
Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah
tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya
dikenalsebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Tidak salah kalau sampai sekarang
telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di seluruh penjuru tanah air
bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi dari
kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis
Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat
pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima
tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri.
Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari
semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.
Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj.
Ruqayah sejak kecil memang sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya.
Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren seperti Pesantren Cadasari,
Kadupeseng Pandeglang. Kemudian ke pesantren di Plamunan hingga Pleret Cirebon.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh
di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama
Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja,
Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih
banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani.
Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau
mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh
wafat.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya
sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya
datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri
besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok
di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya
menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo,
Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena,
kewira’iannya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan
santri mengaji.
Semasa hidupnya, Abuya Dimyati
dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat
Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten.
Saking pentingnya ngaji dan belajar,
satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai
ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering
diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan
sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali!
Salah satu cerita karomah yang
diceritakan Gus Munir adalah, dimana ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke
Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa
sangat bangga karena banyak kyai di Indonesia paling jauh mereka ziarah adalah
maqam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat menziarahi sampai ke Maqam
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. ketika sampai di maqam tersebut, maka penjaga
maqam bertanya padanya, “darimana kamu (Bahasa Arab)”.
si Kyai menjawab, “dari Indonesia”.
maka penjaganya langsung bilang, “oh
di sini ada setiap malam Jum’at seorang ulama Indonesia yang kalau datang
ziarah dan duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah akan diam dan
menghormati beliau, beliau membaca al-Qur’an, maka penziarah lain akan meneruskan
bacaan mereka.”
Maka Kyai tadi kaget, dan berniat
untuk menunggu sampai malam Jum’at agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut.
Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya Dimyati.
Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan
bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani
(ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya).
Di balik kemasyhuran nama Abuya,
beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau
terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.
Abuya Dimyathi menempuh jalan
spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!”
(Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keulamaan seseorang
bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana
yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan.
Dipertegas lagi dalam hadits nabi al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama
adalah pewaris para nabi.
Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu.
Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi
para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah
suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan
fungsi kekhalifahannya.
Bagi Abuya hidup adalah ibadah.
Tidak salah kalau KH Dimyati Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa
belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada
di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah
mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung
mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib.
Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam.
Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh.
Di sisi lain ada sebuah kisah
menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu
dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin menggebu-gebu
untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya
tidak punya ilmu apa-apa.”
Sampai pada satu kesempatan, Abuya
Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH Baidlowio pun menjawab,”Mbah Dim, dzikir
itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan memuat sendiri
saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah wadzifah yang
terdiri dari dzikir dan selawat.” Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati
penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada
akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk sholat istikharah. Setelah
melaksanakan sholat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH
Baidlowi yang kemudian diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.
Abuya Dimyati Dipenjara
Mah Dim dikenal seagai salah satu
orang yang sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini
pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah
dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda
prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh
menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan.
Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang
oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya
menguraikan tentang hizib Nashr dan hizib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H
1379/1959 M. Kemudian kitab Ashlul Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat
perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hizib
Nashr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang
hizib Nashr. Selanjutnya kitab Bahjatul Qolaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian
kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya
membahas tentang tarekat Syadziliyyah.
Di balik kemasyhuran nama Abuya,
beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau
terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.
Tabarukan beliau....aamiin
Tabarukan beliau....aamiin
EmoticonEmoticon